Karya : Soni
Farid Maulana
Kau benar. akhirnya aku kembali ke dalam sunyi. Pintu hatiku, yang aku
buka seluas tujuh tahun cahaya, menyebabkan angin sedingin jantung si mati
bersarang disitu. Jika angin itu menjelma badai, diriku hancur dibuatnya.
Kau benar, aku harus pergi ke dunia lain, menutup kembali pintu itu
rapat-rapat. Kini aku mengerti, bahwa cinta, dan mencintai harus dibedakan,
tidak boleh disandingkan dalam kursi yang sama. Sakit juga, ya, bila pada
akhirnya, aku harus pamit dari kehidupan orang yang aku cintai. Ya, kau pernah
bertanya, apa sesungguhnya cinta itu? Kini aku tidak bisa menjawab pertanyaan
itu, selain terlempar ke ujung tanjung, dunia sunyi, sepi, seperti sumur tua,
yang airnya absen dikoyak timba purba. Periku, seandainya saat ini kau ada
disisiku, kau pasti tertawa ngakak, “apa aku bilang!” begitu kau berkata.
Aku percaya pada awas mata batinmu yang mampu membaca masa depan, dan
kau bilang, kelak aku akan snediri, bagai bintang mati dipojok jagat raya.
Periku, apakah aku bisa hidup sendiri? Apakah dalam kesendirian itu aku bisa
tenang menghadapi kematian, tanpa orang yang aku cintai? Kau bilang, mati itu
sendiri, tanpa orang yang dicintai. Jadi belajarlah hidup sendiri. Periku, apa
yang aku takutkan kini terjadi, betapa pamit itu menyakitkan. Betapa kematian
kini membayang dihadapanku, dan aku dirindukannya sebagaimana dulu aku
merindukan seseorang datang kepadaku, lembut bagai rembulan. Kau jangan tertawa
ngakak? Jangan pula bilang, “pangkuanku terbuka lebar, seluas tujuh tahun
cahaya! Selembut ciuman sang ajal di bukit golgota. Bukit merah anggur darah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar